#Random Little Note 3

Nur Atika Fitria
3 min readNov 29, 2020

--

Minggu lalu aku baru saja melakukan perjalanan singkat bersama teman lama. Kami mengunjungi salah satu teman kami yang lain, di sebuah kota kecil tidak jauh dari tempatku tinggal. Kami melewati perjalanan itu dengan berbagai acara, makanan, dan obrolan. Tapi, seperti kebanyakan cerita perjalanan, selain pastinya akan menemukan hal-hal membahagiakan untuk dikenang, drama yang sesekali membuatmu tidak nyaman juga tidak selalu bisa dihindari. Tapi, bukankah itu nilai inti dari perjalanannya?!

Seminggu setelahnya, dan aku mulai menulis catatan ini karena tiba-tiba aku teringat salah satu teman perjalananku yang mengesankan — dan kukira bisa menjadi sebuah renungan beserta pertanyaannya.

Aku ingat teman perjalananku, sebut saja Mecca, adalah wanita dengan kesan yang sangat biasa. Kami mengenal satu sama lain walau kadang aku hanya melihatnya dari permukaan. Dan, tidak jauh berbeda denganku, ia terlihat biasa dan membosankan, dengan penampilan yang datar, jarang menonjol, terlihat kurang peduli, dan kurang menarik. Lol.

Di sisi lain, teman yang kami kunjungi, kusebut Medina, seorang wanita yang sedang mekar dengan segala potensinya. Sangat manis, cerdas, menarik, dan feminin. Seperti bagaimana standar umum manusia kebanyakan yang menyebutnya sebagai ‘wanita ideal’. Dan, aku mengenalnya dengan sangat baik. Kami dekat dan aku selalu bisa membacanya seperti buku yang terbuka, terlihat jelas di tiap halamannya yang dihias. Tapi hiasan tetaplah hiasan, aku melihat dekat dan mengetahui kalau ia pun memiliki sisi yang sulit untuk dilihat orang lain secara sekilas. Lalu, kau bisa mendekat lagi dan mengetahui beberapa hal yang tidak seharusnya.

Kembali ke Mecca, aku tiba-tiba harus berada dekat dengannya lagi kali ini, dan secara tiba-tiba merasa kagum dan tahu kalau aku harus meralat semua penilaianku sebelumnya. Mecca seperti air sungai, dingin dan mengalir tenang. Dia selalu membuat orang lain merasa nyaman, entah itu dengan diamnya, persetujuaannya, atau gurauan singkatnya. Dia tidak membuat hal tidak mengenakkan apa pun berlarut-larut, bahkan ketika AKU memilliki kebiasaan melemparkan kalimat dingin namun tajam ke sekeliling ruangan secara spontan. Aku senang karena ia seolah tidak mendengar apa pun dan membiarkan hal bodoh yang kulakukan berlalu begitu saja. Dan, bagaimana ia selalu bersabar pada teman-teman yang lain dengan memberikan perhatian, menuruti keinginan mereka, menunjukkan perasaan yang ringan di mana saja. Hal paling menakjubkan adalah ia membuatnya terlihat begitu mudah.

Terdengar normal dan biasa, tapi baiklah, kalau mau merenung, berapa banyak orang yang bisa melakukannya dengan baik. Aku melihat orang-orang penuh ego dan ketidaksabaran di sekelilingku. Orang-orang yang tidak akan dengan mudah membiarkan hal yang tidak mengenakkan untuknya berlalu begitu saja tanpa perang dingin maupun konfrontasi frontal, orang-orang reaktif, kekanak-kanakkan, dan penuntut paling sengit.

Orang-orang, atau laki-laki dengan mudah menyukai Medina, tapi tidak pada Mecca. Kau tahu karena orang begitu menyukai permukaan, hal-hal yang mudah bagi mereka untuk dilihat, hal-hal dangkal, kecantikan, kepura-puraan. Lalu, melewati Mecca dengan seluruh kebaikan hatinya. Mecca yang mereka lihat sebagai wanita “biasa” saja. Ya Tuhan, kalau aku laki-laki sudah kulamar Mecca sekarang juga. Tapi kenyataanya, Mecca sendirian, tapi sebaliknya, Medina memiliki sebaris penggemar yang siap untuk menggandeng tangannya setiap saat. Aku tidak bilang Mecca begitu baik dan Medina buruk, ataupun sebaliknya. Aku hanya ingin mengatakan kenapa hal semacam ini begitu mudah terjadi di mana saja. Aku merasa Mecca harus mendapatkan jumlah penggemar yang sama dengan Medina, atau bahkan lebih, jika ingin terdengar adil. Tapi sayangnya tidak.

Lalu, aku sadar, mungkin kita semua cenderung melihat seseorang dengan ego dan mata, dibanding dengan nurani. Bahkan, yang lebih parah adalah bahwa kita melihat seseorang dengan kaca mata orang lain—orang kebanyakan. Jika orang katakan ia cantik, maka ia cantik dan kau bahagia dengan persetujuan mereka. Jika orang mengatakan ia baik, maka ia baik dan kau mempercayainya dengan mudah. Seolah persetujuan mereka adalah kebenaran mutlak yang harus kau ikuti walau itu menuntunmu ke kekeliruan. Tidak selalu begitu, hanya saja, apa kita tidak bisa melihat sesuatu dengan lebih baik, lama, dan dekat. Kebaikan seseorang seperti, misalnya yang dimiliki Mecca, akan sulit terlihat dari kejauhan.

Seperti kutipan dalam film kesukaanku, “Flipped”;

Jika mau melihat gambaran besarnya, kamu akan melihat bahwa nilai keseluruhan seseorang akan lebih besar daripada nilai bagian-bagiannya. Hanya saja sayangnya, terkadang nilai bagian-bagian seseorang seringnya dirasa lebih penting daripada nilai keseluruhannya.

Intinya, orang akan dengan mudah menyukai bagian-bagian kecil seperti; senyum yang cantik, mata yang indah, lalu lupa dengan hal-hal lain yang nilainya jauh lebih besar. Padahal, mari kita letakkan BAGIAN KECIL itu dalam sebuah nilai keseluruhan seseorang, dan voila, senyum yang mempesona itu kehilangan maknanya jika disandingkan dengan kebohongan karakter atau cara pandang yang dangkal dan buruk.

Jadi, sekali lagi jadi, mungkin ini sudah waktunya untuk mendekat dan melihat seseorang dengan mengesampingkan ego, prasangka, dan nilai-nilai bagian tertentu saja, dan melihatnya secara keseluruhan…menggunakan pencahayaan yang tepat.

--

--