Menjadi sembilan tahun kembali…

Nur Atika Fitria
3 min readJan 15, 2022

--

Jan Willemsen from Flickr

Bagiku, masa-masa sekolah awal merupakan masa-masa paling imajinatif, aneh, dan luar biasa. Tapi sama seperti kebanyakan orang, masa-masa itu hanya diingat kala begitu senggang tanpa benar-benar bersentuhan lagi dengan sentimen khas anak kecil beserta absurditasnya yang tak terbatas.

Menjadi dewasa dan lelah, pada malam-malam sejuk bulan Januari yang luang aku sering tiba-tiba teringat sekolah dasar tuaku yang lokasinya tak jauh dari tempatku tinggal. Bulan ini, keluargaku kebetulan melakukan pembersihan dengan membuang beberapa barang lama, dan kondisi rumahku kini jadi mirip dengan saat aku pertama kali pindah ke sini –sedikit kosong dan terasa baru. Hal itu membuatku tiba-tiba mengingat masa-masa awal hidupku lebih kuat dan dalam dari biasanya.

Aku menghabiskan masa kecil bersama kawan seangkatan pada rentang akhir tahun 90an hingga awal 2000an. Kami, saat itu, melewatinya dengan tontonan, bacaan, lalu petualangan yang berawal dari kepala. Aku tinggal di kota yang masih berkembang, jadi meski tidak terlalu bersentuhan dengan alam dan permainan tradisional, kami semua bermain dengan paduan sentuhan modernitas awal masa kedua milenium dan pengaruh masa lalu dari budaya yang diturunkan orang tua kami. Aku ingat kami melahap semua bacaan seri Goosebumps oleh R.L Stine dan kami akan membicarakan lalu membayangkan bahwa hantu-hantu atau monster itu benar-benar hidup di sekitar area sekolah atau lapangan tak berpemilik di dekatnya. Namun, bukan berarti kami melupakan hantu-hantu lokal dengan legenda urban yang telah hidup bergenerasi. Aku juga ingat bagaimana kami menikmati perkemahan Sabtu-Minggu dengan malamnya yang berhujan ditemani cerita-cerita hantu warisan, dan kemudian percaya untuk lebih baik tidak pergi ke toilet pada malam hari, sendirian.

Pada hari-hari biasa, pada jeda jam olahraga, aku dan beberapa teman sesekali menyempatkan waktu untuk menangkap kecebong di genangan lapangan yang dikelilingi ilalang tinggi, atau sekali waktu memilih bermain di bawah pohon berbatang besar rindang, memainkan ulang adegan kartun ataupun drama anak yang kami tonton di TV, persis seolah kami memainkan naskah drama di panggung. Di kesempatan lain, kami juga beramai-ramai memainkannya ulang saat jeda kosong pelajaran di sekitar kelas. Hal lucu terakhir sebelum kami lulus adalah memainkan program TV bertema hantu yang sangat digemari saat itu. Kami memainkannya di lorong samping kelas yang hampir tidak pernah digunakan, dan salah satu teman terlucu kami berperan sebagai hantunya. Aku terkekeh saat mengingat kami lari bersemburatan ke sana kemari sambil berteriak histeris saat teman itu mulai mengejar, seakan-akan kami semua dikejar hantu asli. Aku selalu mengingat hal-hal semacam itu sambil tertawa dan bersyukur bagaimana paduan media modern di masa awal perkembangannya –yang tidak seliar sekarang, menjadi petunjuk permainan imajinasi kami. Meskipun tidak seperti kehidupan sekolah di daerah pedesaan yang jauh lebih akrab dengan alam dan permainan tradisionalnya, kami tidak sedikitpun kehilangan keseruan masa kecil, karena seperti kebanyakan, otak kami akan membuat semuanya menjadi lebih menarik.

Di waktu lain, kami sering berpetualang bersama ke banyak tempat dan menganggap kami sedang menjelajah wilayah wonderland, padahal saat itu, kami mungkin hanya pergi ke pasar malam, pertokoan, taman bermain di kompleks sebelah, atau saluran air lebar yang mengalir di antara rumah-rumah. Akan ada seribu cerita lain yang hidup hanya dari imajinasi. Jadi, meskipun mungkin kenyataannya tidak seindah atau semenarik itu, tetapi kami selalu berhasil membuatnya jadi meriah. Dan betapa menyedihkannya bahwa kami telah lama mungkin tidak hidup dengan energi positif yang sebenarnya kami bisa ciptakan sendiri dalam pikiran.

Lama menjadi dewasa, daya imajinasi kami perlahan meredup dihantam kepahitan tumbuh menjadi remaja dan fase kehidupan setelahnya. Masa-masa usia 6 hingga 12 tahun itu seolah menjadi kampung halaman yang tidak akan bisa dikunjungi kembali karena hilang seiring kepergian kami semua untuk menua.

Tapi aku menyimpannya rapi di sebuah peti harta karun indah di pojokan ingatan, kuhias dan sesekali kubuka ketika aku lelah dan membutuhkan. Ketika mungkin bagi beberapa orang masa-masa itu terlihat konyol dan tidak sepenting itu, atau hanya bagian dari potongan masa lalu yang bahkan terlepas dari kisah hingar bingar puncak masa remaja, justru aku sangat menghargainya. Dan di masa-masa dingin –walau di kotaku ini cuaca lebih sering panas menusuk– aku menghangatkan hatiku dengan harta kenangan di dalam peti itu. Mengingat kembali kisah-kisah tersebut dengan tokoh-tokoh ceritanya yang meskipun masih hidup tapi telah berganti karakter dan hilang.

16 Januari, 2022

--

--