Aku dan Hans

Nur Atika Fitria
3 min readOct 6, 2019

--

Photo by: Gado YouTube Channel

Malam itu aku ingat betul kakakku melempar tiga buku penuh ilustrasi milik temannya ke lantai. Aku yang saat itu sedang gemar-gemarnya membaca, terlebih membaca buku dengan banyak ilustrasi, langsung saja menyambar buku-buku tersebut, aku bahkan masih mengingat jelas logo penerbitnya. Dua dari tiga kisah yang kubaca sangat membekas di otak kelas satu SD-ku, dan kebetulan dua-duanya merupakan cerita dengan tema dan akhir cerita yang cukup menyedihkan, The Little Mermaid dan The Little Match Girl.

Sekian tahun kemudian, aku membaca entah di mana tentang bagaimana cerita-cerita di usia dini bisa sangat tertanam bahkan bisa membentuk salah satu identitas kita. Sepertinya aku melankolis sekali dan perasa hingga temanku menyuruhku untuk mengingat bacaan anak-anak apa yang kubaca dan kukatakan, “Well, itu mungkin masalahnya.” Buku pertamaku, setelah tentang jadwal harian anak-anak yang sangat sederhana, adalah buku bergambar biografi Galileo Galilei. Cerita tentang Galileo yang miskin di masa mudanya dan menerima berbagai ketidakadilan di masa tuanya. Dan buku berikutnya adalah dua karangan Hans Christian Andersen yang telah kusebutkan. Jadi, terjawablah sudah kenapa.

Tahulah aku kalau Hans memang terkenal dengan kisah anak-anak sedihnya. Aku mulai membaca buku biografi Hans dan voila, aku tahu kenapa kebanyakan kisah-kisah yang Hans buat kebanyakan seperti itu, tentu saja karena tak luput dari pengaruh kehidupan Hans sendiri yang tak kalah suram. However, his life story resonates to me in some extent, and I love the stories that he made profoundly. I love ’em so much, especially because they mostly bring the noble messages.

So, to draw my premature conclusion, rangkaian kepribadian menyedihkanku salah satu nya diwarnai oleh buku-buku cerita Hans yang kubaca di masa kecil, dimana kisah-kisah itu ditulis dengan latar belakang yang muram milik penulisnya. Salah satu ya, and it can’t be wrong. Tapi, jikapun iya, lihat bagaimana kepribadian juga bisa disalurkan bahkan ke orang-orang yang tidak saling mengenal satu sama lain dengan momen yang tepat, yaitu masa kanak-kanak. LOL.

Tapi bagaimanapun aku selalu menganggap kisah-kisah yang dibuat Hans sangat indah dan aku berharap bisa menulis ulang karyanya. Hanya saja, akhir-akhir ini aku tidak banyak melihat buku-buku semacam itu, terlebih yang dihiasi dengan gaya ilustrasi klasik akhir tahun 90an. Sedangkan, aku tidak suka dengan adaptasinya, remake apalagi real action movienya kalau memang ada. They ruin my childhood memory mostly, my childhood imagination, too.

In the moment I’m feeling low and down, sering aku buka dan baca-baca lagi dua cerita Hans di atas karena unsur ke-relate-annya. Karena lelah harus membaca ulang dengan bahasa asing dan aku ingin menceritakannya pada anak-anak kecil sekitar rumahku, aku mulai berpikir untuk mulai menerjemahkan bebas. Ditambah sepertinya jarang yang membaca kisah asli Hans secara keseluruhan, so I decided in the long run, little by little I will translate and post it here. Aku berharap bisa konsisten. Thanks Hans for writing such a beautiful story ever.

For last, I will quote a little sad ending part of the little mermaid, yang demi noble purpose memilih untuk tidak membunuh pangeran dan berubah jadi buih yang terbang di udara saja, huhuhuh

“She saw the Prince and his fair bride in search of her. Then they gazed sadly into the seething foam, as if they knew she had hurled herself into the waves. Unseen by them, she kissed the bride’s forehead, smiled upon the Prince, and rose up with the other daughters of the air to the rose-red clouds that sailed on high.” — The Little Mermaid, Hans Christian Andersen

--

--